“kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh,
tetapi tidak dapat menghancurkan
mereka yang mencari Pantai Seberang (Nibbana).
Keserakahan pada kekayaan dapat menghancurkan diri sendiri dan orang lain.”
(Dhp. Tanha Vagga. 355)
Manusia dengan bergelimangan harta adalah manusia bahagia, karena ia sedikit sekali mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Ajaran Buddha pun mengakui bahwa, kebahagiaan seseorang adalah jika ia memiliki kecukupan materi atau harta kekayaan. Disamping itu ada masalah serius yang ditimbulkan oleh harta. Pertama, adalah melakukan penimbunan harta, rasa sayang terhadap harta tanpa disadari dapat menimbulkan kemelekatan yang berakibat kecemasan dan ketakutan di dalam diri. Kedua, penggunaan yang tidak benar seperti pemborosan, berjudi, membeli minuman keras, obat-obatan terlarang, dan pergi ketempat pelacuran.
Di dalam ajaran Buddha hilangnya harta yang dikarenakan, pencurian, perampokan, musibah banjir, kebakaran ataupun kejadian lainnya, bukan hanya manusia saja sebagai pelakunya tetapi juga dapat dilakukan oleh mahkluk-mahkluk tak tampak yaitu naga dan yakkha. Hal ini tertulis di dalam Nidhikanda Sutta:
“Karena, harta karun itu dapat bergeser dari tempatnya, dapat terlupakan dari ingatannya, naga mungkin memindahkannya, yakkha mungkin mengambilnya.”
Buddhisme mengajarkan pentingnya menggunakan harta secara benar disamping mencari harta kekayaan. Menggunakan harta kekayaan dengan benar yaitu bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam Samyutta Nikaya IV. 331-7, Buddha memberikan tiga aspek syarat yang seharusnya di jalankan perumah tangga dalam kegiatan usahannya, salah satunya adalah cara menggunakan kakayaan yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan beramal.
Harta Kekayaan Bermanfaat bagi diri sendiri Harta kekayaan yang kita miliki hendaknya dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri yaitu (bhoga sukha) menikmati pendapatan secara tepat dan bijaksana yang merupakan salah satu faktor dari empat faktor yang memunculkan kebahagiaan bagi kehidupan perumah tangga. Kita hendaknya tidak boros dalam menggunakan harta melainkan menggunakannya secara tepat atau seimbang, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit (samajivika), menjaga harta kekayaan, dan berkorban.
Hidup dalam kemewahan akan membawa dampak negatif bagi perkembangan batin. Maka dari itu, kita hendaknya dapat memberi manfaat bagi orang lain dari harta kekayaan yang kita miliki.
Harta Kekayaan Bermanfaat Bagi Orang Lain Setelah harta kekayaan digunakan untuk mengelola usaha, penjagaan, dan penyimpanan, maka sisanya digunakan untuk membahagiakan orang lain yaitu: orang tua, istri dan anak, saudara, pembantu, pekerja, dan juga teman. Di dalam Anguttara Nikaya IV menyatakan, bahwa ; “harta kekayaan yang dimiliki dapat membuat keluarganya, orang tuanya (ayah dan ibu), istri dan anak, berserta budak, pekerja dan pembantunya, tamu dan koleganya juga ikut dapat merasakan bahagia dan senang, dan secara benar ia dapat mempertahankan kebahagiaan mereka.” Mengajak jalan-jalan, berlibur di suatu tempat, membelikan pakain baru; membayar upah para pekerja, pembantu yang sesuai dan tepat waktu atau memberikan upah lebih/bonus bagi pekerja atau pelayan yang giat dalam melakukan tugasnya. Kemudian, keberhasilan seseorang dalam karier juga dilihat ketika ia mampu menyokong anggota keluarganya, dalam Mahamangala Sutta; “menyokong ayah dan ibu, menjaga baik anak dan istri, serta memiliki pekerjaan yang damai, bebas dari pertentangan; itulah berkah utama. Suka berdana, berprilaku pantas, membantu sanak keluarga dan bertindak tak tercela; itulah berkah utama.”
Harta kekayaan digunakan untuk beramal/Berdana Satu-satunya cara untuk mendapatkan guna dari harta kekayaan adalah dengan mendanakan kekayaan setelah mati. Nagarjuna, dalam kitab Raja-parikatha-ranamala. 315, berkata; “melalui pemakaian kekayaan terdapat kebahagiaan di sini dan sekarang, Melalui pemberian terdapat kebahagiaan di masa depan, dari pemborosan tanpa menggunakan atau mendermakannya, yang ada hanyalah kesengsaraan. Bagaimana bisa terdapat kebahagiaan?
Sangat jelas bahwa menggunakan harta kekayaan yang terbaik adalah digunakan sebelum kematian merenggut karena seberapa pun banyaknya harta kekayaan yang kita miliki di dunia ini semua itu akan kita tinggalkan setelah jantung ini berhenti berdetak. Tetapi harta tersebut dapat menjadi bekal di hari kematian jika kita menggunakannya, salah satunya mendanakannya atau memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, bekal itu adalah kebajikan. Buddhisme mengajarkan setiap siswanya agar berdana, bermurah hati, ikhlas memberikan apa yang diperoleh, banyak atau sedikit menjadi suatu ukuran tetapi bukan ukuran yang utama hanya salah satu ukuran dari sekian banyaknya ukuran-ukuran yang ada, yang terpenting adalah kerelaan hati atau keikhlasan dalam memberikan. Berdanalah dengan hati senang, senang sebelum, saat dan setelah memberikan. Hati rela melepas (ikhlas) akan mengakibatkan kebahagiaan bagi penderma dalam waktu yang lama. Ada banyak tempat yang tersedia untuk mengaplikasikan tindakan berdana, seperti panti asuhan, panti jompo, dan lembaga-lembaga sosial. Agama Buddha sendiri memiliki hari kathina, umat Buddha berbondong-bondong datang ke vihara membawa jubah atau pun kebutuhan lainnya untuk dipersembahkan kepada Sangha. Ini adalah salah satu tindakan yang tepat dalam menggunakan harta kekayaan. Perlu diingat bahwa berdanalah kepada siapa saja yang membutuhkan dan janganlah membatasi diri dalam melakukan kebajikan.
Buddhisme sangat menyayangkan tindakan seseorang ketika ia menyalahgunakan harta kekayaannya sendiri dan penimbunan harta kekayaan tanpa menggunakannya secara benar dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Karena tindakan-tindakan semacam itu dipastikan menimbulkan dukkha yang hanya membawa pada kehancuran. Buddha hadir dalam rangka menangani masalah-masalah yang dihadapi perumah tangga dalam hal penggunaan harta kekayaan dan memberikan pentunjuk bagaimana mengelola atau menejemen harta kekayaan dengan baik.
Referensi:
Endro, S herman. 1997. Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026. Jakarta Pusat: Yayasan Dhammadiepa Arama.
Mulyono, Djoko. Dkk. 2008. Kajian Tematis Agama Kristen dan Agama Buddha. tanpa kota: Freepress Publisher.
Kemmadhiro, Bhikkhu. 2013. Melangkah Di Jalan Dhamma (Kumpulan Artikel Bhikkhu Khemadhiro. Semarang: Vihara Tanah Putih.
Kitab Suci Dhammapada (The Buddha’s Path of Wisdom). Tanpa kota: Bahussuta society. Sikkhananda, Bhikku. Dana Penjelasan disertai dengan Cerita. Denpansar: Maestro Offset. Cintiawati, Wena. Dkk 2003. Petikan Aõguttara Nikaya Kitab Suci Agama Buddha.. Klaten: Vihara Bodhivaæsa.
Sigalovada Sutta. Tanggerang: vihara Padumuttara.
Sutta Nipata Kitab Suci Agama Buddha. 1999. Terjemahan oleh Lanny Aggawati dan Wena Cintiawati. Klaten: Vihara Boddhivaæsa.
Walshe, Maurice. 1995. Kh0tbah-khotbah Panjang Sang Buddha Dîhga Nikaya. Terjemahan oleh Team Giri Mangala Publication dan Team DhammaCitta Press. 2009 . Tanpa Kota: DhammaCitta.