Latifah, S.S., M.A (Dosen STAB Kertarajasa)
Ada banyak jalan menuju Roma, begitu pula perjuangan di jalan Dhamma. Seni rupa merupakan salah satu media pembabaran Dhamma yang telah digunakan sepanjang sejarah perkembangan agama Buddha. Namun, seni rupa Buddhis tak terbatas pada candi, pahatan, atau patung kuno. Seni rupa Buddhis banyak mendapat tantangan dan peluang baru di era digital sekarang ini seiring dengan meningkatnya peran seni visual.
Dian Tika Sujata, alumnus STAB Kertarajasa, Batu, Malang, membaca kebutuhan akan peran seni rupa dalam pendidikan agama Buddha itu. Dia melanjutkan studinya ke Jurusan Keguruan Seni Rupa Universitas Negeri Malang (UM). Kini ia tengah menyelesaikan tesisnya tentang pengembangan buku ajar visualisasi simbol Paticcasamupada. Guru di sebuah SMP swasta di Malang ini juga mengembangkan dirinya dengan berkiprah dalam Living Values Education (LVE). Selain itu, keterlibatannya dalam Seminar Spiritualitas Diponegoro beberapa waktu lalu di Prodi Antropologi, Universitas Brawijaya, membuka cakrawala tentang peran seni lukis yang tidak hanya menjelaskan sejarah, identitas, dan nasionalisme, tetapi juga kemanusiaan.
Mengemukanya peran seni untuk kemanusiaan ini dirasakannya kembali saat ia mengikuti pembukaan Pameran Seni Rupa Hak Atas Kehidupan yang Layak di Pendopo Balai Kota Among Tani pada 24 Juni 2019. Pameran ini menampilkan karya-karya terbaik dari Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik yang dilaksanakan pada Maret hingga Mei 2019. Karya-karya terbaik dari kompetisisi ini selanjutnya akan mengisi Museum HAM Omah Munir yang merupakan museum HAM pertama di Asia Tenggara. Kompetisi Omah Pepeling ‘rumah cahaya’ juga telah dilaksanakan untuk merenovasi Museum Omah Munir di Batu, Malang. Seno Gumira Ajidarma, Rektor Institut Kesenian Jakarta, menegaskan, “Berperan dalam perjuangan hak asasi manusia membuat seni bermakna lebih dari sekadar hiasan dan hiburan semu.”